Rabu, 27 Juni 2012

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KRISTAL CAIR IONIK BERBASIS GARAM FATTY IMIDAZOLINIUM SEBAGAI ELEKTROLIT REDOKS PADA SEL SURYATERSENSITISASI ZAT WARNA


SINTESIS DAN KARAKTERISASI KRISTAL CAIR IONIK BERBASIS GARAM
FATTY IMIDAZOLINIUM SEBAGAI ELEKTROLIT REDOKS PADA SEL SURYATERSENSITISASI ZAT WARNA



Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan elektrolit redoks kristal cair ionik berbasis sumber terbarukan lokaluntuk sel surya tersensitisasi zat warna (DSSC, Dye Sensitized Solar Cell). Sistem kristal cair ionik yangdiharapkan diperoleh adalah garam iodida dari fatty imidazolinium. Pada penelitian ini telah berhasil disintesis tigasenyawa fatty imidazolinium iodida dengan struktur kation berbeda yakni palmitil imidazolinium (Pal-Imz), stearil imidazolinium (St-Imz), dan cis oleil imidazolinium (Ol-Imz).
Ketiga senyawa disintesis dari asam lemak dandietilentriamin (DETA) menggunakan metode green melalui penggunaan iradiasi gelombang mikro. Hasil karakterisasi struktur menggunakan FTIR dan 1H-NMR menunjukkan kesesuaian dengan senyawa yang diharapkan. Analisis terhadap uji sifat fisikokimia menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC)menunjukkan terdapatnya fase kristal cair pada Ol-Imz I dengan rentang 82,58-151,50oC. Analisis sifat fisikokimia lainnya menggunakan Thermal Gravimetry / Differential Thermal Analysis (TG/DTA) menunjukkan bahwa ketigasenyawa memiliki kestabilan termal yang tinggi masing-masing dengan titik dekomposisi 368,6oC/38,6% (Pal- Imz I); 375,5oC/45,6% (St-Imz I); dan 361,6oC/57% (Ol-Imz I). Analisis menggunakan cyclic voltammetry (CV) menunjukkan ketiga senyawa memiliki lebar jendela elektrokimia sebesar ± 2 V.hasil analisis ElectrochemicalImpedance Spectroscopy (EIS) menunjukkan bahwa tahanan Ol-Imz I paling kecil yaitu 0,066 kohm.cm2 pada 25oC,
sedangkan St-Imz I dan Pal-Imz I masing-masing berharga 3,839 dan 1,566 kohm.cm2. Data hasil uji sifat fisikokimia menunjukkan bahwa senyawa Ol-Imz I berpotensi digunakan sebagai elektrolit redoks pada DSSC.
Kata kunci: DSSC, elektrolit redoks, kristal cair ionik, dan fatty imidazolinium


PENDAHULUAN
Krisis energi yang dialami oleh seluruh negara di dunia menyebabkan beberapa perubahan yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) merupakan salah satu aspek yang dapat
menjawab permasalahan krisis energi tersebut.Beberapa penelitian telah dilakukan oleh dalam upaya mencari sumber energi alternatif. Salah satu piranti energi alternatif yang hingga saat ini menarik perhatian banyak peneliti adalah Sel Surya (Solar Cell).
Sumber energi untuk sel surya yang melimpah dan terbaharui merupakan salah satu alasan dilakukannya pengembangan akan sel surya ini. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat besar yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini
Hingga saat ini telah dihasilkan tiga generasi sel surya yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. generasi pertama sel surya terbuat dari silikon kristal tunggal dan silikon multi kristal. keunggulan dari tipe pertama ini adalah memiliki efisiensi yang cukup tinggi, sedangkan kelemahannya adalah biaya produksinya yang mahal sehingga tidak memenuhi salah satu kriteria sumber energi alternatif yaitu biaya produksi murah. generasi kedua dari sel surya adalah tipe lapis tipis (thin film solar cell). Keunggulan dari tipe ini diantaranya biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan tipe sebelumnya dan divais yang dihasilkan bersifat lentur sehingga dapat dideposisikan terhadap piranti apapun. Sedangkan kelemahannya adalah efisiensi yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan tipe sebelumnya.
          Penelitian agar harga sel surya menjadi lebih murah selanjutnya memunculkan generasi ketiga dari jenis sel surya yaitu tipe sel surya polimer atau disebut juga dengan sel surya organik dan tipe sel surya fotoelektrokimia. Berbeda dengan tipe sel surya generasi pertama dan kedua yang menjadikan pembangkitan pasangan electron dan hole dengan datangnya photon dari sinar matahari sebagai proses utamanya, pada sel surya generasi ketiga ini photon yang datang tidak harus menghasilkan pasangan muatan tersebut melainkan membangkitkan exciton. Exciton inilah yang kemudian berdifusi pada dua permukaan bahan konduktor (yang biasanya di rekatkan dengan organik semikonduktor berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto (photocurrent)2.
Tipe sel surya fotokimia merupakan jenis sel surya exciton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya TiO2) yang diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan oleh Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis sel surya ini sering juga disebut dengan sel Graetzel atau dye-sensitized solar cells (DSSC). Sel Graetzel ini dilengkapi dengan pasangan redoks yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padatan atau cairan). Sistem elektrolit redoks yang biasa digunakan umumnya disusun dari pasangan redoks I3
-/I- dalam pelarut organik seperti asetonitril atau 3-metoksi propinitril pelarut organik tersebut dapat mengalami kebocoran atau ketidakstabilan disebabkan
peningkatan suhu selama proses iluminasi, yang berpengaruh buruk pada kestabilan elektrolit jika digunakan pada rentang waktu yang cukup lama.
          Berkaitan dengan kelemahan tersebut, beberapa usaha telah dilakukan untuk menggantikan sistem elektrolit redoks tersebut dengan semikonduktor
tipe-p berbasis material anorganik, konduktor organik, atau padatan elektrolit polimer 4. Walaupun elektrolit non-cairan dirasakan dapat mengatasi
masalah kebocoran, tetapi masalah lain muncul yaitu dengan menurunnya efisiensi konversi. Rendahnya efisiensi dapat dihubungkan dengan relatif
kurangnya kontak antara partikel nano yang mengadsorpsi zat warna dengan padatan konduktor atau polimer dalam lapisan mesopori. Dalam kaitan
ini beberapa peneliti menggunakan cairan ionic sebagai alternatif, karena performa fotovoltaiknya yang cukup tinggi sekaligus kestabilan fisiknya yang
memadai yang menjadikan cairan ionik dapat memiliki kontak yang tinggi dengan zat warna pada partikel nano 4.
         

Walaupun demikian, efisiensi konversi sel surya berbasis cairan ionik masih lebih rendah dibandingkan pelarut organik konvensional. Hal ini berkaitan dengan tingginya kekentalan cairan ionic yang mempersulit terjadinya difusi I- dan I3 - 5. karena usaha untuk mereduksi kekentalan belum juga berhasil, maka diperlukan cara lain untuk mempercepat transport muatan pada material ini. untuk mempercepat laju ini yaitu melalui terbentuknya struktur “self assembly” dan peningkatan konsentrasi lokal I- dan I3 -5, maka penggunaan kristal cair ionik (ionic liquid crystals) sangat memungkinkan 5. Sementara ini kristal cair ionik yang dikembangkan adalah sistem kristal cair ionik berbasis garam imidazolium yang secara ekonomis masih kurang menguntungkan.
Kation fatty imidazolinium memiliki struktur yang serupa dengan kation imidazolium, berbeda hanya dalam ikatan rangkap dan terdapatnya gugus
amida pada fatty imidazolinium. Adanya gugus amida diharapkan senyawa ini dapat menghasilkan rentang mesophase yang lebar dengan terbentuknya
supramolekular kristal cair ionik.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan kristal cair ionic sebagai material elektrolit redoks baru untuk sel
surya tersensitisasi zat warna (DSSC) yang berbasis garam fatty imidazolinium. Garam ini dapat disintesis dari asam lemak 6, sehingga dimungkinkan
untuk mendapatkan garam ini dari sumber terbarukan lokal seperti minyak sawit dan minyak nabati lainnya.
          Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan material elektrolit redoks baru untuk sel surya tersensitisasi zat warna (DSSC) beserta karakter fisikokimianya. Adapun material yang akan dibuat adalah kristal cair ionik berbasis garam fatty imidazolinium dengan memvariasikaann tiga substitusi gugus alkil pada kation dengan gugus palmitil [CH3(CH2)14-CH2-], stearil [CH3(CH2)16- CH2-], dan cis oleil [cis-ù-9-CH3(CH2)16CH2-]
dengan anion iodida.



METODE PENELITIAN
Alat
Peralatan yang digunakan untuk tahapan preparasi dan sintesis kristal cair ionik fatty imidazolinium antara lain: microwave 800W, alatalat gelas, satu set alat refluks, pemanas mantel, termometer raksa, Magnetic Stirrer, pemanas listrik, corong Buchner, pompa vakum, satu set alat rotary evaporator, neraca analitik, aluminium foil, kertas saring Whattman 41. Sedangkan untuk karakterisasi struktur, studi elektrokimia, dan analisis termal digunakan FTIR (SHIMADZU, FTIR-8400), 1HNMR Delta 500 MHz, Electrochemistry Impedance Spectroscopy (VOLTALAB PGZ301), Cyclic Voltammetry (EPSILON), Differential Scanning Calorimetry (DSC), dan Thermal Gravimetric /
Differential Thermal Analysis (TG/DTA) 200 Seiko SSC tipe 5200H.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk keseluruhan penelitian ini adalah: asam cis oleat ekstrak pure produk Merck, asam stearat p.a produk Merck, asam
palmitat p.a produk Merck, metil iodida p.a produk Aldrich, dietilenatriamina p.a produk Aldrich, asetonitril teknis produk Bratachem, metilen khlorida teknis produk Bratachem, etil asetat teknis produk Bratachem, kalsium oksida p.a produk Merck, metanol teknis produk Bratachem, n-butanol p.a.produk Merck, dan
n-heksana  teknis produk Bratachem.

Sintesis Fatty Imidazolin
Ke dalam gelas kimia pyrex ukuran 500 mL, dimasukkan 2,06 gram (20 mmol) dietilenatriamina, 40 mmol asam lemak (asm palmitat, asam stearat, atau asam oleat-cis) dan 20 gram kalsium oksida (CaO) secara hati hati dan diaduk hingga merata. Campuran diiradiasi menggunakan microwave dengan daya 800W selama waktu tertentu dan suhu akhir dicatat (Tabel 1). pertama kali, dilakukan penentuan waktu optimal reaksi dengan cara mengukur suhu dari campuran setiap 1 menit. setelah menunjukkan dua suhu maksimum, maka kemudian reaksi dihentikan. Setelah waktu optimal reaksi diketahui, untuk reaksi selanjutnya microwavedi set pada waktu tersebut. reaksi diketahui, untuk reaksi selanjutnya microwave di set pada waktu tersebut.

Tabel 1. Waktu reaksi sintesis fatty imidazoline
Senyawa
Waktu (menit)

Pal – Imz
St – Imz
Ol - Imz
7.5
8,5
6,5

Campuran reaksi dibiarkan hingga mencapai suhu ruanngan. Kemudian campuran dipindahkan kedalam labu dasar bulat leher tiga. Etilasetat ditambahkan sebanyak 80 ml dan campuran kemudian dipanaskan sampai suhu 80oc seiring dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer hingga berwarna coklat muda, kurang lebih dibutuhkan waktu 30 menit. Campuran disaring dalam keadaan panas menggunakan corong buchner yang dihubungkan dengan pompa vakum 6. Kemudian filtrat dipekatkan dengan evaporator dengan cara memisahkan pelarut etil asetat. Produk merupakan semi-padatan berwarna coklat kekuningan.
Sintesis Fatty Imidazolinium Iodida
Fatty imidazoline ditambahkan metilen khlorida sebanyak 120 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam labu dasar bulat leher tiga. Ke dalam labu dasar bulat ditambahkan metil iodida dengan perbandingan 1 : 1,5 (imidazolin : ch3i), selanjutnya campuran di refluks pada suhu konstan 40oc sambil diaduk dengan magnetic stirrer kurang lebih selama 4 jam. Kemudian hasilnya didinginkan hingga mencapai suhu ruangan, dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan evaporator pada suhu 80oc kurang lebih selama 2 jam. Kemudian digunakan metode rekristalisasi untuk pemurniannya, dimana produk dilarutkan dalam metanol dan dijenuhkan hingga terbentuk padatan (kristal) menggunakan nheksana. Kurang lebih dibutuhkan waktu 4 hari, setelah itu produk dipisahkan dari uap-uap pengotor menggunakan pompa vakum, kemudian dimasukkan ke dalam refrigator selama 30 menit. Produk berupa semi-padatan merah tua untuk pal-imz i, semipadatan kuning kecoklatan untuk st-imz i, dan pasta coklat untuk ol-imz i 7.
Karakterisasi Struktur dan Fisikokimia
Fatty imidazoline dikarakterisasi menggunakan FTIR, sedangkan fatty imidazolinium iodide dikarakterisasi menggunakan FTIR dan 1H-NMR. Karakterisasi sifat fisikokimia yaitu dengan menggunakan cyclic voltammetry (cv) untuk mengetahui lebar jendela elektrokimia.

Sintesis Fatty Imidazolin
Tabel 2. Sintesis fatty imidazoline dari asam lemak berbeda menggunakan irradiasi gelombang mikro
No.
Asam lemak (g)
Deta (g)
Perbandingan
Mol asam
Lemak dan
Deta
Daya
Microwave
(watt)
Waktu
Reaksi
(menit)
Suhu
Akhir
Reaksi
(oc)
Randemen
(%)
1.

2.

3.
Asam palmitat (10,2)

Asam stearat
(11,4)

Asam
cis-oleat
(11,4)
2.06



2.06


2.06

2:1



2:1


2:1
800



800


800
7,5



8,5


6,5
164



169


158
40,2



51,3


50,4


    



Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) untuk mengetahui besarnya tahanan, DifferentialScanning Calorimetry (DSC) untuk mengetahui suhu transisi fasa, dan Thermal Gravimetry / Differential Thermal Analysis (TG/DTA) untuk mengetahui suhu dekomposisi dari masing – masing senyawa.

PEMBAHASAN
Kation fatty imidazolinium 4 mempunyai struktur dan fungsi yang sangat mirip dengan kation imidazolium 3, berbeda hanya pada gugus substituen pada N3 [dengan adanya gugus amida, -C(O)(NH)] pada 4 dan adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar 3. Garam fatty imidazolinium ini dapat disintesis dari asam lemak6 dengan metode gelombang mikro yang lebih green, sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan garam ini dari minyak nabati terbarukan lokal (asam lemak).

   
Dalam kerangka studi eksplorasi bagi pengembangan kristal cair ionik baru sebagai elektrolit redoks pada Sel Surya Tersensitisasi Zat Warna (DSSC), adanya gugus amida ini diduga justru akan memperbesar kemungkinan fatty imidazolinium membentuk mesophase melalui pembentukan kristal cair ionik supramolekular (supramolecular ionik liquid crystals). Gugus amida primer tak tersubstitusi (-C(O)NH2) dikenal sebagai sinton pembentukan struktur supramolekular pada crystal engineering 8. Pembentukan kristal cair ionic supramolekular pada kation imidazolium 3 misalnya sebagian besar terstabilkan oleh interaksi ionik dan ikatan hidrogen lemah (interaksi sekunder) kation- anion. Masuknya gugus amida pada struktur kation 3 dapat memperkaya terbentuknya ikatan hidrogen lemah dan akan menstabilkan pembentukan kristal cair ionik supramolekular 8.
Dengan demikian dapat diduga bahwa dengan masuknya gugus amida pada struktur fatty imidazolinium 4 juga akan mendorong kation mengatur dirinya (self-organize) membentuk pita polimer berikatan hidrogen (hydrogen bonded
ribbon polymer). Hal ini akan menstabilkan pembentukan mesophase pada rentang suhu yang cukup lebar. Terdapatnya kemiripan struktur sekaligus terdapatnya perbedaan pokok tersebut membuat kajian karakteristik fisikokimia dan kinerja fotovoltaik terhadap garam 4 ini akan sangat menarik. Kontribusi besar bagi studi eksplorasi material ini sebagai elektrolit redoks pada DSSC juga bisa diberikan.
Pada penelitian ini telah disintesis tiga senyawa berbasis garam fatty imidazolinium dengan memvariasikan gugus alkil pada kation dengan palmitil [CH3-(CH2)14-CH2-], stearil [CH3-(CH2)16- CH2-], dan cis oleil [ω-9-CH3-(CH2)16-CH2-] dan iodida sebagai anion. Senyawa palmitil imidazolinium iodida (Pal-Imz I) berupa padatan lembek berwarna merah pekat, senyawa stearil imidazolinium iodida (St-Imz I) berupa padatanlembek berwarna kuning kecoklatan, sedangkan senyawa cis oleil imidazolinium iodida (Ol-Imz I) berupa padatan lembek berwarna coklat lebih lembek dibandingkan palmitil dan stearil.





Gambar 2.  Spektra FTIR stearil imidazolin (bawah) dan stearil  imidazolinium iodide.

Analisis Struktur
Dalam suatu sintesis diperlukan suatu karakterisasi stuktur untuk mengetahui apakah senyawa yang kita harapkan berhasil terbentuk atau tidak. Analisis atau karakterisasi struktur yang paling sering digunakan yaitu menggunakan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan 1H-NMR (Nuclear Magnetic Resonance-Proton). Keenam senyawa diantaranya tiga fatty imidazoline dan tiga fatty imidazolinium dikarakterisasi dengan FTIR. Sedangkan untuk memastikan ketiga senyawa fatty imidazolinium berhasil terbentuk, karakterisasi menggunakan 1H-NMR dilakukan.

Analisis Spektra FTIR
Analisis terhadap FTIR yaitu dengan cara membandingkan spektra dari senyawa sebelum (fatty imidazoline) dan spektra senyawa hasil reaksi (fatty imidazolinium). Senyawa fatty imidazoline yang diuji menggunakan FTIR merupakan senyawa yang baru didapat langsung dari hasil reaksi microwave, sedangkan senyawa fatty imidazolinium iodida yang diuji dengan FTIR merupakan senyawa hasil metilasi-kuartenerisasi dan setelah pemurnian.
Gambar 2 menunjukkan perbandingan hasil spectra senyawa stearil imidazolin dengan senyawa stearilimidazolinium iodida.
Pada spektra FTIR stearil imidazolin terdapat serapan pada bilangan gelombang 3643 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi –NH. Gugus –NH ini bukan berasal dari stearil imidazolin melainkan dari pengotornya yaitu dietilentriamin yang bersisa, karena pada sintesis fatty imidazoline tidak dilakukan pemurnian. serapan pada bilangan gelombang 3411 cm-1 menunjukkan adanya gugus amina sekunder (-NHCO-) yang kemungkinan mengalami ikatan hidrogen. Tidak terdapatnya serapan yang jelas antara 2800 – 1600 cm-1 diperkirakan banyaknya serapan dari gugus-gugus yang mengalami tumpang tindih satu sama lain.
Dalam hal ini, tidak terlalu terlihat perbedaan yang signifikan antara spektra IR dari stearil imidazolin dan stearil imidazolinium iodida karena hanya
berbeda dalam hal gugus metil pada N1 dan ikatan rangkap -C=N pada lingkar imidazol yang mengalamikonjugasi. Tabel 4 memperlihatkan analisis spektra yang dibandingkan dengan literatur. disisi lain, perbandingan spektra antara palmitil imidazolin dengan palmitil imidazolinium iodide hampir serupa dengan stearil imidazolin dan stearil imidazolinium iodida. Tidak banyak yang dapat dijelaskan pada spektra IR karena pada penelitian ini hanya ditujukan untuk pengujian kualitatif, dengan kata lain hanya mengidentifikasi gugus-gugus khas
yang muncul pada daerah bilangan gelombang tertentu.
Begitupun dengan senyawa cis oleil imidazolin dan cis oleil imidazolinium menunjukkan spektra IR yang hampir serupa dengan stearil imidazolin dan stearil imidazolinium iodida. Pada cis oleil imidazolin terdapat puncak pada bilangan gelombang 3600 cm-1, yang dimungkinkan adanya vibrasi gugus –OH bebas dari sisa asam lemak. Karena perlakuan pada cis oleil serupa dengan pada stearil imidazolin, dimana imidazolin yang diuji IR merupakan imidazolin yang belum dipisahkan menggunakan etil asetat.

Perbedaan yang terlihat dari struktur stearil dan cis oleil yaitu pada ikatan tak jenuh. Hal ini terbuktikan dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang sekitar 3010 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi dari =C-H dan pada daerah 1400- 1600 cm-1 yang biasanya merupakan v




Analisis Spektra 1H-NMR
Karakterisasi struktur tidak cukup hanya menggunakan FTIR, salah satu yang paling penting adalah menggunakan 1H-NMR. Analisis menggunakan 1H-NMR akan lebih detail dalam menjawab apakah senyawa yang diharapkan berhasil terbentuk atau tidak. Gambar 4 merupakan spectra 1H-NMR dari cis oleil imidazolinium iodida. Analisis terhadap spektra 1H-NMR pada Ol-Imz I tidak jauh berbeda dengan St-Imz I dan Pal-Imz I.

   


Analisis Transisi Fasa dengan DSC
Rangkaian metode yang biasa digunakan dalam mengetahui fasa Kristal cair ionik adalah menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Polarized Optical Microscopy (POM). DSC berguna untuk mengetahui rentang suhu fasa kristal cair, dalam hal ini mengetahui melting temperature dan clearing temperature. Melting temperature merupakan suhu dimana terjadi perubahan dari fasa padatan kristal menjadi fasa kristal cair ionik, dan clearing temperature merupakan suhu dimana terjadi perubahan dari fasa krital cair ionik menuju fasa cairan isotropik biasa. Sedangkan POM berguna untuk mengetahui jenis kristal cair seperti nematik, smektit, atau diskotik. Pada penelitian ini hanya digunakan DSC untuk mengetahui seberapa besar rentang suhu fasa kristal cair dari ketiga senyawa.
Senyawa cis oleil imidazolinium iodide memiliki rentang suhu fasa kristal cair ionik yang sangat lebar yaitu sekitar 70oC dengan laju 3oC. melting temperature dan clearing temperature berturut-turut dari cis oleil imidazolinium iodide adalah 82,58oC (ΔH = 3,2228 kal/g) dan 151,50Oc (ΔH = 1,6621 kal/g). hal ini dibenarkan oleh hasil analisis menggunakan TG/DTA yang menunjukkan
tidak adanya perubahan berat yang signifikan hingga suhu 160oC.
Sebagai pembanding, senyawa 1-dodesil-3- metilimidazolium iodida pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan memiliki melting temperature 27Oc dan clearing temperature 45oC serta rentang fasa kristal cair sekitar 18oC (yamanaka et al., 2004). rentang suhu pada cis oleil imidazolium iodide hampir empat kali lipat lebih besar dibanding 1- metil-3-dodesilimidazolium iodida. Hal ini disebabkan oleh gugus amida dan panjang alkil pada cis oleil imidazolium iodida.



Di sisi lain, senyawa stearil imidazolinium iodida tidak menunjukkan adanya fasa kristal cair. Hal ini terlihat dari hasil DSC yang hanya memiliki satu puncak endoterm. Puncak ini menunjukkan terjadinya perubahan fasa dari padatan menuju fasa cairan isotropik (melting temperature). Faktor yang menyebabkan perbedaan fasa kristal cair antara cis oleil imidazolinium iodida dengan stearil imidazolinium iodida adalah konformasi molekul dan ikatan tak jenuh. Adanya ikatan rangkap pada alkil cis oleil menyebabkan molekul menjadi lebih ruah dibanding alkil stearil. Keruahan molekul ini merupakan salah satu faktor lebarnya fasa kristal cair yang dimiliki oleh senyawa cis oleil imidazolinium. Di sisi lain, stearil memiliki rantai yang lurus, sehingga menyebabkan interaksi antar molekulnya sangat kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari penampakan secara fisik dimana steril berbentuk lebih padat dibanding cis oleil.
Kekuatan interaksi antarmolekul sangat berperan penting dalam proses perubahan fasa suatu senyawa. Pembentukan kristal cair ionic supramolekular sebagian besar terstabilkan oleh interaksi ionik dan ikatan hidrogen lemah (interaksi sekunder) kation-anion. Konformasi dari steril memungkinkan terjadinya interaksi yang relatif lebih kuat dibanding cis oleil. Dengan demikian, seiring meningkatnya suhu senyawa stearil imidazolinium iodida tidak dapat membentuk fasa kristal cair melainkan langsung membentuk fasa cairan isotropik.




 Pengjian termal dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh suhu terhadap kestabilan dari senyawa fatty imidazolinium yang nantinya akan
diaplikasikan sebagai elektrolit redoks pada sel surya tersensitisasi zat warna. Senyawa ini diharapkan memiliki kestabilan termal yang tinggi, sehingga tidak akan mengalami dekomposisi ataupun penguapan pada saat proses iluminasi oleh sinar matahari.
Garis biru merupakan kurva yang menunjukkan perubahan massa (dalam %) terhadap suhu (TG, Thermalgravimetri). Garis merah pada kurva menunjukkan perubahan massa terhadap waktu (DTG, Differential Thermal Gravimetri). Garis hijau menunjukkan perubahan suhu terhadap suhu (DTA, Differential Thermal Analysis). Titik dekomposisi diketahui dari kurva perubahan massa terhadap suhu (garis biru), dimana Td (titik dekomposisi) merupakan suhu ketika % massa berharga disekitar 50%. Td untuk masing-masing senyawa Pal-Imz I, St-Imz I, dan Ol-Imz I berturut-turut adalah 368,6oC; 375,5oC; dan 361,6oC.
Sebagai pembanding, cairan ionik berbasis garam imidazolium biasanya memiliki suhu dekomposisi pada rentang 300–400oC, sedangkan asetonitril yang biasa digunakan sebagai pelarut organik pada sel surya tersensitisasi zat warna terdekomposisi / menguap pada suhu 81oC. Dengan demikian, ketiga senyawa ini tidak memiliki kendala dalam hal kestabilan termal bila digunakan sebagai
elektrolit redoks pada sel surya tersensitisasi zat warna.



           Analisis Kestabilan Elektrokimia dengan CV
Dalam mengetahui kelayakan suatu material digunakan sebagai suatu elektrolit redoks adalah mengetahui lebar jendela elektrokimia (electrochemical windows) dari senyawa tersebut. Berbeda dengan pengukuran cairan ionik yang berwujud cairan pada suhu kamar, pengukuran ketiga senyawa fatty imidazolinium yang berwujud padatan pada suhu kamar dilakukan dalam bentuk
larutannya. Ketiga senyawa diuji kelarutan terlebih dahulu menggunakan pelarut dengan kepolaran meningkat yaitu kloroform, etanol, dan kemudian air. Semakin polar, ternyata ketiga senyawa menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu semakin tidak mudah larut. Alternatif berikutnya yaitu menggunakan n-butanol karena sifatnya yang memiliki gugus polar (-OH) dan gugus nonpolar  
(-CH2CH2CH2CH3). Hasilnya ketiga senyawa menunjukkan kelarutan yang cukup baik. Kelarutan cis oleil imidazolinium iodida dalam n-butanol paling besar, sedangkan stearil memiliki kelarutan paling kecil.
Ketiga senyawa fatty imidazolinium kemudian dilarutkan dalam n-butanol dengan konsentrasi yang sama (0,2g/10mL). Setelah diuji menggunakan
Cyclic Voltammeter dengan elektroda platina sebagai elektroda kerja, kawat platina yaitu elektroda pembantu, elektroda kalomel Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding, dan batas pengukuran ditentukan di daerah }1 Volt, dan dibawah atmosfer Nitrogen (N2), ketiga senyawa menunjukkan lebar jendela sebesar 2 Volt.
Semakin lebar jendela mengindikasikan bahwa
semakin besar potensi senyawa tersebut untuk digunakan sebagai elektrolit. Sebagai pembanding, 1-metil-3-etilimidazolium heksaflorophosfat memiliki lebar jendela elektrokimia sebesar 4 Volt, 9. Ketiga senyawa fatty imidazolinium memiliki lebar jendela elektrokimia yang lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh anion yang digunakan yaitu ion iodida. Ion halida seperti Cl-, Br-, dan I- lebih mudah teroksidasi dibandingkan anion yang mengandung fluor 10. Selain itu, pengukuran dalam kondisi larutan dimana pelarut yang digunakan adalah n-butanol dapat mempengaruhi lebar jendela elektrokimia dari senyawa fatty imidazolinium.
Dalam kasus cairan ionik, kestabilan elektrokimia terutama tergantung dari ketahanan kation tereduksi dan anion teroksidasi. Semakin mudah suatu senyawa mengalami reaksi redoks, maka semakin kecil lebar jendela elektrokimia. Kehadiran n-butanol yang mudah teroksidasi dimungkinkan menjadi penyebab kecilnya jendela elektrokimia. Menurut Maass, kemurnian dari senyawa yang diukur dapat menentukan batas potensial atau nilai electrochemical window.

Analisis Daya Hantar Ionik dengan EIS
Salah satu sifat fisikokimia yang terpenting dalam suatu senyawa jika akan digunakan sebagai elektrolit redoks adalah konduktivitas ionik. Konduktivitas ionik berhubungan dengan kemampuan daya hantar ion dari suatu senyawa. Elektrolit redoks dalam DSSC merupakan suatu media penghubung antara kedua elektroda, semakin baik suatu elektrolit menghantarkan elektron semakin besar efisiensi yang akan dihasilkan. Pada penelitian ini, digunakan Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) di Laboratorium Korosi ITB untuk mengetahui konduktivitas ionik dari ketiga senyawa fatty imidazolinium. Data diperoleh dari
EIS berupa tahanan atau hambatan dari material yang diujikan. Semakin besar tahanan (R1) maka semakin kecil konduktivitas dan semakin kecil tahanan maka semakin besar konduktivitas. Table 8 merupakan hasil pengujian konduktivitas dari ketiga senyawa fatty imidazolinium pada suhu ruangan 298 K.

Tabel 8. Nilai tahanan dari ketiga senyawa





Sebagai pembanding, Tabel 9 berikut merupakan data tahanan dari senyawa cairan ionik yang menggunakan instrument yang sama.
Tabel 9. Nilai tahanan dari cairam ionik 2





Dari ketiga senyawa fatty imidazolinium iodida, senyawa cis oleil imidazolinium iodida memiliki nilai tahanan yang paling kecil, sedangkan stearil imidazolinium iodida memiliki nilai tahanan yang paling besar. Dengan kata lain, senyawa cis oleil imidazolinium iodida memiliki konduktivitas ionic yang paling tinggi, kemudian palmitil imidazolinium iodida, dan stearil imidazolinium iodida. Jika dihubungkan dengan wujud/fisik dari masing-masing senyawa, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin padat maka semakin besar tahanannya. Dalam hal ini, cis oleil imidazolinium iodida memiliki wujud paling lembek mirip, kemudian palmitil agak sedikit padat, dan stearil yang sedikit lebih padat dibanding palmitil. Penampakan wujud ini dapat dihubungkan dengan jarak antarmolekul dan kekuatan interaksi antarmolekul, semakin padat artinya semakin kecil jarak antarmolekulnya yang disebabkan interaksi antarmolekulnya yang kuat. Hal ini dapat dianalogikan dengan peningkatan viskositas yang menyebabkan peningkatan nilai tahanan dari suatu senyawa, sesuai dengan aturan Walden’s yaitu :

Λη = konstan atau Λ ≈ 1/η

Dimana Λ menunjukkan konduktivitas molar dan
η menunjukkan viskositas.


Pengaruh Sifat Transport Terhadap Daya
Hantar Ionik
Nilai konduktivitas bergantung pada jumlah dan mobilitas dari pembawa muatan, dengan kata lain kation dan anion sebagai pembawa muatan 10. Senyawa yang memiliki sifat transport yang tinggi akan mempunyai garis ke arah atas pada ujung kurva EIS.
Ketiga senyawa menunjukkan garis ke atas pada setiap ujung kurva EIS, dengan kata lain ketiga senyawa memiliki sifat transport yang tinggi. Sifat transport berhubungan dengan pergerakan atau mobilisasi dari pembawa muatan yaitu kation-anion. Semakin mobil kation-anion maka sifat transport akan tinggi, dan berdampak pada peningkatan efisiensi dalam menghantarkan muatan. Interaksi kation - anion sangat berpengaruh terhadap pergerakan kation-anion itu sendiri.
Stearil imidazolinium iodida memiliki interaksi yang kuat sehingga pergerakan kation-anionnya akan sangat lemah. Hal ini terlihat dari harga Zi pada
stearil imidazolinium iodida berhenti pada angka yang sangat besar yaitu 7,8 kohm.cm2. Berbeda halnya dengan cis oleil imidazolinium iodida yang memiliki interaksi yang lemah sehingga pergerakan kation-anionnya akan lebih tinggi dibandingkan stearil dan palmitil. Sehingga jika diurutkan sifat transport cis oleil imidazolinium iodida lebih besar dibanding palmitil imidazolinium iodida, namun
palmitil lebih besar dibanding stearil imidazolinium iodida.





KESIMPULAN
Kristal cair ionik berbasis garam fatty imidazolinium yaitu cis oleil imidazolinium iodide dapat disintesis dari asam lemak (asam cis oleat) dan dietilentriamin (DETA) menggunakan metode Green (reaksi kering) melalui iradiasi gelombang mikro dan metilasi-kuartenerisasi menggunakan metil iodida.
Berdasarkan hasil uji sifat fisikokimia, senyawa Ol- Imz I memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan sebagai elektrolit redoks pada sel surya tersensitisasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell, DSSC).

Ucapan Terima Kasih
Penulis ucapkan terima kasih kepada DIKTI (Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi) yang telah bersedia mendanai penelitian ini melalui hibah Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) dengan sepenuhnya.


















DAFTAR PUSTAKA
Yuliarto, B., (2006), Teknologi Sel Surya untuk Energi Masa Depan, Majalah  IptekISTECS, 6-8.
Ripna, Habib Rd. 2007. “Sintesis dan Karakterisasi Cairan Ionik Berbasis Garam
Benzotriazolium sebagai Elektrolit Redoks pada Sel Surya Tersensitisasi Zat Warna”. Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA UPI.
O’Regan, B. dan Gratzel, M., “a Lost-Cost, High- Eficiency Solar Cell Based on Dye- Sensitized Colloidal TiO2 Film”, Nature, 1991, 353, 737.
Kang, M.G., Ryu, K.S., Chang, S.H., dan Park, N.G., (2004), “A New Ionic Liquid for a Redox Electrolyte of Dye-Sensitized Solar Cells”, ETRI Journal, 26, 6, 647-651.
Yamanaka, N., Kawano, R., Kubo, W., Kitamura, T., Wada, Y., Watanabe, M., dan Yanagida, S., “Ionic Liquid Crystals as a Hole Transport Layer of Dye-Sensitized Solar Cells”, Chem. Commun., 2005, 740.
Bajpai, D. dan Tyagi, V. K., Microwave Synthesis of Cationic Fatty Imidazolines and their Characterization. AOCS. 2008
Mudzakir, A., Zur Chemie des carbenanalogen 1,3- Dimethyl-1,2,3-benzotriazoliumiodid, Verlag Goettingen, Germany, 2004.
Lee, K-M., Lee, Y-T., dan Lin, I. J. B., “Supramolecular Liquid Crystals”, J.
Mater. Chem. 2003, 13, 1079
Yoo, J., Kim K., Kim J., dan Yeu T., “The Preparation of Nonaqueous Electrolytes Based on Quaternary Imidazolium Salts for EDLC”. Department of Chemical Engineering, Chungang University, Huksukdong Dongjakgu Seoul 156-756, Republic of Korea. Arie Hardian, Ahmad Mudzakir, Omay Sumarna J. Si. Tek.Kim. 16 Trulove, P.C. dan Mantz, R.A., 2003, “Electrochemical Properties of Ionic Liquid” dalam “Ionic Liquid in Synthesis”, P. Wassercheid dan T. Welton (Eds.), Wiley Verlag, Frankfurt.
.