SINTESIS DAN
KARAKTERISASI KRISTAL CAIR IONIK BERBASIS GARAM
FATTY
IMIDAZOLINIUM SEBAGAI
ELEKTROLIT REDOKS PADA SEL SURYATERSENSITISASI ZAT WARNA
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan elektrolit
redoks kristal cair ionik berbasis sumber terbarukan lokaluntuk sel surya
tersensitisasi zat warna (DSSC, Dye Sensitized Solar Cell). Sistem
kristal cair ionik yangdiharapkan diperoleh adalah garam iodida dari fatty
imidazolinium. Pada penelitian ini telah berhasil disintesis tigasenyawa fatty
imidazolinium iodida dengan struktur kation berbeda yakni palmitil
imidazolinium (Pal-Imz), stearil imidazolinium (St-Imz), dan cis oleil
imidazolinium (Ol-Imz).
Ketiga senyawa disintesis dari asam lemak
dandietilentriamin (DETA) menggunakan metode green melalui penggunaan
iradiasi gelombang mikro. Hasil karakterisasi struktur menggunakan FTIR dan
1H-NMR menunjukkan kesesuaian dengan senyawa yang diharapkan. Analisis terhadap
uji sifat fisikokimia menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC)menunjukkan
terdapatnya fase kristal cair pada Ol-Imz I dengan rentang 82,58-151,50oC.
Analisis sifat fisikokimia lainnya menggunakan Thermal Gravimetry /
Differential Thermal Analysis (TG/DTA) menunjukkan bahwa ketigasenyawa
memiliki kestabilan termal yang tinggi masing-masing dengan titik dekomposisi
368,6oC/38,6% (Pal- Imz I); 375,5oC/45,6% (St-Imz I); dan 361,6oC/57% (Ol-Imz
I). Analisis menggunakan cyclic voltammetry (CV) menunjukkan ketiga
senyawa memiliki lebar jendela elektrokimia sebesar ± 2 V.hasil analisis ElectrochemicalImpedance
Spectroscopy (EIS) menunjukkan bahwa tahanan Ol-Imz I paling kecil yaitu
0,066 kohm.cm2 pada 25oC,
sedangkan
St-Imz I dan Pal-Imz I masing-masing berharga 3,839 dan 1,566 kohm.cm2. Data
hasil uji sifat fisikokimia menunjukkan bahwa senyawa Ol-Imz I
berpotensi digunakan sebagai elektrolit redoks pada DSSC.
Kata kunci: DSSC, elektrolit redoks, kristal cair ionik, dan fatty
imidazolinium
PENDAHULUAN
Krisis
energi yang dialami oleh seluruh negara di dunia menyebabkan beberapa perubahan
yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) merupakan salah satu aspek yang dapat
menjawab
permasalahan krisis energi tersebut.Beberapa penelitian telah dilakukan oleh
dalam upaya mencari sumber energi alternatif. Salah satu piranti energi
alternatif yang hingga saat ini menarik perhatian banyak peneliti adalah Sel
Surya (Solar Cell).
Sumber energi untuk sel surya yang melimpah dan
terbaharui merupakan salah satu alasan dilakukannya pengembangan akan sel surya
ini. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi
sangat besar yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara
dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain,
dengan menutup 0,1% permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki
efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat
ini
Hingga saat ini telah dihasilkan tiga generasi sel surya
yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. generasi pertama sel
surya terbuat dari silikon kristal tunggal dan silikon multi kristal. keunggulan
dari tipe pertama ini adalah memiliki efisiensi yang cukup tinggi, sedangkan kelemahannya
adalah biaya produksinya yang mahal sehingga tidak memenuhi salah satu kriteria
sumber energi alternatif yaitu biaya produksi murah. generasi kedua dari sel
surya adalah tipe lapis tipis (thin film solar cell). Keunggulan dari
tipe ini diantaranya biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan tipe
sebelumnya dan divais yang dihasilkan bersifat lentur sehingga dapat dideposisikan
terhadap piranti apapun. Sedangkan kelemahannya adalah efisiensi yang
dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan tipe sebelumnya.
Penelitian
agar harga sel surya menjadi lebih murah selanjutnya memunculkan generasi
ketiga dari jenis sel surya yaitu tipe sel surya polimer atau disebut juga
dengan sel surya organik dan tipe sel surya fotoelektrokimia. Berbeda dengan
tipe sel surya generasi pertama dan kedua yang menjadikan pembangkitan pasangan
electron dan hole dengan datangnya photon dari sinar matahari
sebagai proses utamanya, pada sel surya generasi ketiga ini photon yang datang
tidak harus menghasilkan pasangan muatan tersebut melainkan membangkitkan exciton.
Exciton inilah yang kemudian berdifusi pada dua permukaan bahan
konduktor (yang biasanya di rekatkan dengan organik semikonduktor berada di antara
dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan muatan dan akhirnya menghasilkan
efek arus foto (photocurrent)2.
Tipe sel surya fotokimia merupakan jenis sel surya exciton
yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya TiO2) yang
diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan
oleh Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis sel surya ini sering juga disebut dengan
sel Graetzel atau dye-sensitized solar cells (DSSC). Sel Graetzel ini
dilengkapi dengan pasangan redoks yang diletakkan dalam sebuah elektrolit
(bisa berupa padatan atau cairan). Sistem elektrolit redoks yang biasa
digunakan umumnya disusun dari pasangan redoks I3
-/I-
dalam pelarut organik seperti asetonitril atau 3-metoksi propinitril pelarut
organik tersebut dapat mengalami kebocoran atau ketidakstabilan disebabkan
peningkatan
suhu selama proses iluminasi, yang berpengaruh buruk pada kestabilan elektrolit
jika digunakan pada rentang waktu yang cukup lama.
Berkaitan
dengan kelemahan tersebut, beberapa usaha telah dilakukan untuk menggantikan
sistem elektrolit redoks tersebut dengan semikonduktor
tipe-p
berbasis material anorganik, konduktor organik, atau padatan elektrolit polimer
4. Walaupun elektrolit non-cairan dirasakan dapat mengatasi
masalah
kebocoran, tetapi masalah lain muncul yaitu dengan menurunnya efisiensi
konversi. Rendahnya efisiensi dapat dihubungkan dengan relatif
kurangnya
kontak antara partikel nano yang mengadsorpsi zat warna dengan padatan
konduktor atau polimer dalam lapisan mesopori. Dalam kaitan
ini
beberapa peneliti menggunakan cairan ionic sebagai alternatif, karena performa
fotovoltaiknya yang cukup tinggi sekaligus kestabilan fisiknya yang
memadai
yang menjadikan cairan ionik dapat memiliki kontak yang tinggi dengan zat warna
pada partikel nano 4.
Walaupun demikian, efisiensi konversi sel surya berbasis
cairan ionik masih lebih rendah dibandingkan pelarut organik konvensional. Hal
ini berkaitan dengan tingginya kekentalan cairan ionic yang mempersulit
terjadinya difusi I- dan I3 - 5. karena usaha untuk mereduksi kekentalan belum juga
berhasil, maka diperlukan cara lain untuk mempercepat transport muatan pada
material ini. untuk mempercepat laju ini yaitu melalui terbentuknya struktur “self
assembly” dan peningkatan konsentrasi lokal I- dan I3 -5, maka penggunaan
kristal cair ionik (ionic liquid crystals) sangat memungkinkan 5.
Sementara ini kristal cair ionik yang dikembangkan adalah sistem kristal cair ionik
berbasis garam imidazolium yang secara ekonomis masih kurang menguntungkan.
Kation
fatty imidazolinium memiliki struktur yang serupa dengan kation imidazolium,
berbeda hanya dalam ikatan rangkap dan terdapatnya gugus
amida pada
fatty imidazolinium. Adanya gugus amida diharapkan senyawa ini dapat
menghasilkan rentang mesophase yang lebar dengan terbentuknya
supramolekular
kristal cair ionik.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan kristal
cair ionic sebagai material elektrolit redoks baru untuk sel
surya
tersensitisasi zat warna (DSSC) yang berbasis garam fatty imidazolinium.
Garam ini dapat disintesis dari asam lemak 6, sehingga dimungkinkan
untuk
mendapatkan garam ini dari sumber terbarukan lokal seperti minyak sawit dan
minyak nabati lainnya.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan material elektrolit redoks baru untuk sel surya
tersensitisasi zat warna (DSSC) beserta karakter fisikokimianya. Adapun
material yang akan dibuat adalah kristal cair ionik berbasis garam fatty
imidazolinium dengan memvariasikaann tiga substitusi gugus alkil pada
kation dengan gugus palmitil [CH3(CH2)14-CH2-], stearil [CH3(CH2)16- CH2-], dan
cis oleil [cis-ù-9-CH3(CH2)16CH2-]
dengan
anion iodida.
METODE PENELITIAN
Alat
Peralatan yang digunakan untuk tahapan preparasi dan
sintesis kristal cair ionik fatty imidazolinium antara lain: microwave
800W, alatalat gelas, satu set alat refluks, pemanas mantel, termometer
raksa, Magnetic Stirrer, pemanas listrik, corong Buchner, pompa vakum,
satu set alat rotary evaporator, neraca analitik, aluminium foil,
kertas saring Whattman 41. Sedangkan untuk karakterisasi struktur,
studi elektrokimia, dan analisis termal digunakan FTIR (SHIMADZU, FTIR-8400),
1HNMR Delta 500 MHz, Electrochemistry Impedance Spectroscopy (VOLTALAB
PGZ301), Cyclic Voltammetry (EPSILON), Differential Scanning Calorimetry
(DSC), dan Thermal Gravimetric /
Differential
Thermal Analysis (TG/DTA)
200 Seiko SSC tipe 5200H.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk keseluruhan penelitian
ini adalah: asam cis oleat ekstrak pure produk Merck, asam stearat p.a
produk Merck, asam
palmitat
p.a produk Merck, metil iodida p.a produk Aldrich, dietilenatriamina p.a produk
Aldrich, asetonitril teknis produk Bratachem, metilen khlorida teknis produk
Bratachem, etil asetat teknis produk Bratachem, kalsium oksida p.a produk
Merck, metanol teknis produk Bratachem, n-butanol p.a.produk Merck, dan
n-heksana
teknis produk Bratachem.
Sintesis
Fatty Imidazolin
Ke dalam gelas kimia pyrex ukuran 500 mL, dimasukkan
2,06 gram (20 mmol) dietilenatriamina, 40 mmol asam lemak (asm palmitat, asam
stearat, atau asam oleat-cis) dan 20 gram kalsium oksida (CaO) secara hati hati
dan diaduk hingga merata. Campuran diiradiasi menggunakan microwave dengan
daya 800W selama waktu tertentu dan suhu akhir dicatat (Tabel 1). pertama
kali, dilakukan penentuan waktu optimal reaksi dengan cara mengukur suhu dari
campuran setiap 1 menit. setelah menunjukkan dua suhu maksimum, maka kemudian
reaksi dihentikan. Setelah waktu optimal reaksi diketahui, untuk reaksi
selanjutnya microwavedi set pada waktu tersebut. reaksi
diketahui, untuk reaksi selanjutnya microwave di set pada waktu
tersebut.
Tabel
1. Waktu reaksi
sintesis fatty imidazoline
Senyawa
|
Waktu (menit)
|
Pal – Imz
St – Imz
Ol - Imz
|
7.5
8,5
6,5
|
Campuran reaksi dibiarkan hingga mencapai suhu
ruanngan. Kemudian campuran dipindahkan kedalam labu dasar bulat leher tiga.
Etilasetat ditambahkan sebanyak 80 ml dan campuran kemudian dipanaskan sampai
suhu 80oc seiring dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer hingga
berwarna coklat muda, kurang lebih dibutuhkan waktu 30 menit. Campuran disaring
dalam keadaan panas menggunakan corong buchner yang dihubungkan dengan pompa
vakum 6. Kemudian filtrat dipekatkan dengan evaporator dengan cara memisahkan
pelarut etil asetat. Produk merupakan semi-padatan berwarna coklat kekuningan.
Sintesis
Fatty Imidazolinium Iodida
Fatty imidazoline ditambahkan metilen khlorida sebanyak 120 ml dan
kemudian dimasukkan ke dalam labu dasar bulat leher tiga. Ke dalam labu dasar
bulat ditambahkan metil iodida dengan perbandingan 1 : 1,5 (imidazolin : ch3i),
selanjutnya campuran di refluks pada suhu konstan 40oc sambil diaduk dengan magnetic
stirrer kurang lebih selama 4 jam. Kemudian hasilnya didinginkan hingga mencapai
suhu ruangan, dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan evaporator pada
suhu 80oc kurang lebih selama 2 jam. Kemudian digunakan metode rekristalisasi
untuk pemurniannya, dimana produk dilarutkan dalam metanol dan dijenuhkan hingga
terbentuk padatan (kristal) menggunakan nheksana. Kurang lebih dibutuhkan waktu
4 hari, setelah itu produk dipisahkan dari uap-uap pengotor menggunakan pompa vakum,
kemudian dimasukkan ke dalam refrigator selama 30 menit. Produk berupa semi-padatan
merah tua untuk pal-imz i, semipadatan kuning kecoklatan untuk st-imz i, dan
pasta coklat untuk ol-imz i 7.
Karakterisasi
Struktur dan Fisikokimia
Fatty imidazoline dikarakterisasi menggunakan FTIR, sedangkan fatty
imidazolinium iodide dikarakterisasi menggunakan FTIR dan 1H-NMR.
Karakterisasi sifat fisikokimia yaitu dengan menggunakan cyclic voltammetry (cv)
untuk mengetahui lebar jendela elektrokimia.
Sintesis
Fatty Imidazolin
Tabel
2. Sintesis fatty
imidazoline dari asam lemak berbeda menggunakan irradiasi gelombang mikro
No.
|
Asam lemak (g)
|
Deta (g)
|
Perbandingan
Mol asam
Lemak dan
Deta
|
Daya
Microwave
(watt)
|
Waktu
Reaksi
(menit)
|
Suhu
Akhir
Reaksi
(oc)
|
Randemen
(%)
|
1.
2.
3.
|
Asam palmitat (10,2)
Asam stearat
(11,4)
Asam
cis-oleat
(11,4)
|
2.06
2.06
2.06
|
2:1
2:1
2:1
|
800
800
800
|
7,5
8,5
6,5
|
164
169
158
|
40,2
51,3
50,4
|
Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS)
untuk mengetahui besarnya tahanan, DifferentialScanning Calorimetry (DSC)
untuk mengetahui suhu transisi fasa, dan Thermal Gravimetry / Differential
Thermal Analysis (TG/DTA)
untuk mengetahui suhu dekomposisi dari masing – masing senyawa.
PEMBAHASAN
Kation fatty imidazolinium 4 mempunyai
struktur dan fungsi yang sangat mirip dengan kation imidazolium 3,
berbeda hanya pada gugus substituen pada N3 [dengan adanya gugus amida,
-C(O)(NH)] pada 4 dan adanya ikatan rangkap pada
sistem lingkar 3. Garam fatty imidazolinium ini
dapat disintesis dari asam lemak6 dengan metode gelombang mikro yang lebih green,
sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan garam ini dari minyak nabati terbarukan
lokal (asam lemak).
Dalam
kerangka studi eksplorasi bagi pengembangan kristal cair ionik baru sebagai elektrolit
redoks pada Sel Surya Tersensitisasi Zat Warna (DSSC), adanya gugus amida ini
diduga justru akan memperbesar kemungkinan fatty imidazolinium membentuk
mesophase melalui
pembentukan kristal cair ionik supramolekular (supramolecular ionik liquid crystals).
Gugus amida primer tak tersubstitusi (-C(O)NH2) dikenal sebagai sinton
pembentukan struktur supramolekular pada crystal engineering 8. Pembentukan
kristal cair ionic supramolekular pada kation imidazolium 3 misalnya sebagian
besar terstabilkan oleh interaksi ionik dan ikatan hidrogen lemah (interaksi
sekunder) kation- anion. Masuknya gugus amida pada struktur kation 3 dapat
memperkaya terbentuknya ikatan hidrogen lemah dan akan menstabilkan
pembentukan kristal cair ionik supramolekular 8.
Dengan
demikian dapat diduga bahwa dengan masuknya gugus amida pada struktur fatty
imidazolinium 4 juga akan
mendorong kation mengatur dirinya (self-organize) membentuk pita polimer
berikatan hidrogen (hydrogen
bonded
ribbon
polymer). Hal ini akan menstabilkan pembentukan mesophase pada
rentang suhu yang cukup lebar. Terdapatnya kemiripan struktur sekaligus
terdapatnya perbedaan pokok tersebut membuat kajian karakteristik fisikokimia
dan kinerja fotovoltaik terhadap garam 4 ini akan sangat menarik. Kontribusi
besar bagi studi eksplorasi material ini sebagai elektrolit redoks pada DSSC juga
bisa diberikan.
Pada
penelitian ini telah disintesis tiga senyawa berbasis garam fatty imidazolinium dengan
memvariasikan gugus alkil pada kation dengan palmitil [CH3-(CH2)14-CH2-], stearil
[CH3-(CH2)16- CH2-], dan cis oleil [ω-9-CH3-(CH2)16-CH2-] dan iodida sebagai
anion. Senyawa palmitil imidazolinium iodida (Pal-Imz I) berupa padatan lembek
berwarna merah pekat, senyawa stearil imidazolinium iodida (St-Imz I) berupa
padatanlembek berwarna kuning kecoklatan, sedangkan senyawa cis oleil
imidazolinium iodida (Ol-Imz I) berupa padatan lembek berwarna coklat lebih lembek
dibandingkan palmitil dan stearil.
Gambar 2. Spektra FTIR
stearil imidazolin (bawah) dan stearil imidazolinium
iodide.
Analisis
Struktur
Dalam suatu
sintesis diperlukan suatu karakterisasi stuktur untuk mengetahui apakah senyawa
yang kita harapkan berhasil terbentuk atau tidak. Analisis atau karakterisasi
struktur yang paling sering digunakan yaitu menggunakan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)
dan 1H-NMR (Nuclear
Magnetic Resonance-Proton). Keenam senyawa diantaranya
tiga fatty
imidazoline dan tiga
fatty imidazolinium dikarakterisasi
dengan FTIR. Sedangkan untuk memastikan ketiga senyawa fatty
imidazolinium berhasil
terbentuk, karakterisasi menggunakan 1H-NMR dilakukan.
Analisis
Spektra FTIR
Analisis
terhadap FTIR yaitu dengan cara membandingkan spektra dari senyawa sebelum (fatty
imidazoline)
dan spektra senyawa hasil reaksi (fatty imidazolinium).
Senyawa fatty
imidazoline yang diuji menggunakan FTIR merupakan senyawa yang baru
didapat langsung dari hasil reaksi microwave, sedangkan senyawa fatty imidazolinium iodida
yang diuji dengan FTIR merupakan senyawa hasil metilasi-kuartenerisasi dan setelah
pemurnian.
Gambar 2 menunjukkan perbandingan
hasil spectra senyawa stearil imidazolin dengan senyawa stearilimidazolinium
iodida.
Pada spektra
FTIR stearil imidazolin terdapat serapan pada bilangan gelombang 3643 cm-1 yang
menunjukkan adanya vibrasi –NH. Gugus –NH ini bukan berasal dari stearil
imidazolin melainkan dari pengotornya yaitu dietilentriamin yang bersisa, karena
pada sintesis fatty
imidazoline tidak
dilakukan pemurnian. serapan pada bilangan gelombang 3411 cm-1 menunjukkan
adanya gugus amina sekunder (-NHCO-) yang kemungkinan mengalami ikatan
hidrogen. Tidak terdapatnya serapan yang jelas antara 2800 – 1600 cm-1 diperkirakan
banyaknya serapan dari gugus-gugus yang mengalami tumpang tindih satu sama
lain.
Dalam hal
ini, tidak terlalu terlihat perbedaan yang signifikan antara spektra IR dari
stearil imidazolin dan stearil imidazolinium iodida karena hanya
berbeda dalam hal gugus metil pada
N1 dan ikatan rangkap -C=N pada lingkar imidazol yang mengalamikonjugasi. Tabel
4 memperlihatkan analisis spektra yang dibandingkan dengan literatur. disisi lain,
perbandingan spektra antara palmitil imidazolin dengan palmitil imidazolinium iodide
hampir serupa dengan stearil imidazolin dan stearil imidazolinium iodida. Tidak
banyak yang dapat dijelaskan pada spektra IR karena pada penelitian ini hanya
ditujukan untuk pengujian kualitatif, dengan kata lain hanya mengidentifikasi
gugus-gugus khas
yang muncul pada daerah bilangan
gelombang tertentu.
Begitupun
dengan senyawa cis oleil imidazolin dan cis oleil imidazolinium menunjukkan
spektra IR yang hampir serupa dengan stearil imidazolin dan stearil
imidazolinium iodida. Pada cis oleil imidazolin terdapat puncak pada bilangan gelombang
3600 cm-1, yang dimungkinkan adanya vibrasi gugus –OH bebas dari sisa asam
lemak. Karena perlakuan pada cis oleil serupa dengan pada stearil imidazolin,
dimana imidazolin yang diuji IR merupakan imidazolin yang belum dipisahkan menggunakan
etil asetat.
Perbedaan
yang terlihat dari struktur stearil dan cis oleil yaitu pada ikatan tak jenuh.
Hal ini terbuktikan dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang sekitar
3010 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi dari =C-H dan pada daerah 1400- 1600
cm-1 yang biasanya merupakan v
Analisis
Spektra 1H-NMR
Karakterisasi
struktur tidak cukup hanya menggunakan FTIR, salah satu yang paling penting adalah
menggunakan 1H-NMR. Analisis menggunakan 1H-NMR akan lebih detail dalam menjawab
apakah senyawa yang diharapkan berhasil terbentuk atau tidak. Gambar 4
merupakan spectra 1H-NMR dari cis oleil imidazolinium iodida. Analisis terhadap
spektra 1H-NMR pada Ol-Imz I tidak jauh berbeda dengan St-Imz I dan Pal-Imz I.
Analisis
Transisi Fasa dengan DSC
Rangkaian
metode yang biasa digunakan dalam mengetahui fasa Kristal cair ionik adalah menggunakan
Differential Scanning
Calorimetry (DSC) dan Polarized Optical Microscopy (POM).
DSC berguna untuk mengetahui rentang suhu fasa kristal cair, dalam hal ini
mengetahui melting
temperature dan
clearing temperature.
Melting temperature merupakan
suhu dimana terjadi perubahan
dari fasa padatan kristal menjadi fasa kristal cair ionik, dan clearing temperature merupakan
suhu dimana terjadi perubahan dari fasa krital cair ionik menuju fasa cairan
isotropik biasa. Sedangkan POM berguna untuk mengetahui jenis kristal cair
seperti nematik, smektit, atau diskotik. Pada penelitian ini hanya digunakan
DSC untuk mengetahui seberapa besar rentang suhu fasa kristal cair dari ketiga
senyawa.
Senyawa cis
oleil imidazolinium iodide memiliki rentang suhu fasa kristal cair ionik yang sangat
lebar yaitu sekitar 70oC dengan laju 3oC. melting temperature dan clearing temperature
berturut-turut dari cis oleil imidazolinium iodide adalah 82,58oC (ΔH = 3,2228
kal/g) dan 151,50Oc (ΔH = 1,6621 kal/g). hal ini dibenarkan oleh hasil analisis
menggunakan TG/DTA yang menunjukkan
tidak adanya perubahan berat yang
signifikan hingga suhu 160oC.
Sebagai
pembanding, senyawa 1-dodesil-3- metilimidazolium iodida pada penelitian
sebelumnya telah dilaporkan memiliki melting temperature 27Oc dan clearing temperature 45oC
serta rentang fasa kristal cair sekitar 18oC (yamanaka et al.,
2004). rentang suhu pada cis oleil imidazolium iodide hampir empat kali lipat
lebih besar dibanding 1- metil-3-dodesilimidazolium iodida. Hal ini disebabkan
oleh gugus amida dan panjang alkil pada cis oleil imidazolium iodida.
Di sisi
lain, senyawa stearil imidazolinium iodida tidak menunjukkan adanya fasa
kristal cair. Hal ini terlihat dari hasil DSC yang hanya memiliki satu puncak
endoterm. Puncak ini menunjukkan terjadinya perubahan fasa dari padatan menuju
fasa cairan isotropik (melting temperature). Faktor yang menyebabkan
perbedaan fasa kristal cair antara cis oleil imidazolinium iodida dengan
stearil imidazolinium iodida adalah konformasi molekul dan ikatan tak jenuh.
Adanya ikatan rangkap pada alkil cis oleil menyebabkan molekul menjadi lebih ruah
dibanding alkil stearil. Keruahan molekul ini merupakan salah satu faktor
lebarnya fasa kristal cair yang dimiliki oleh senyawa cis oleil imidazolinium. Di
sisi lain, stearil memiliki rantai yang lurus, sehingga menyebabkan interaksi
antar molekulnya sangat kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari penampakan secara
fisik dimana steril berbentuk lebih padat dibanding cis oleil.
Kekuatan
interaksi antarmolekul sangat berperan penting dalam proses perubahan fasa
suatu senyawa. Pembentukan kristal cair ionic supramolekular sebagian besar
terstabilkan oleh interaksi ionik dan ikatan hidrogen lemah (interaksi sekunder)
kation-anion. Konformasi dari steril memungkinkan terjadinya interaksi yang
relatif lebih kuat dibanding cis oleil. Dengan demikian, seiring meningkatnya
suhu senyawa stearil imidazolinium iodida tidak dapat membentuk fasa kristal
cair melainkan langsung membentuk fasa cairan isotropik.
diaplikasikan sebagai elektrolit
redoks pada sel surya tersensitisasi zat warna. Senyawa ini diharapkan memiliki
kestabilan termal yang tinggi, sehingga tidak akan mengalami dekomposisi
ataupun penguapan pada saat proses iluminasi oleh sinar matahari.
Garis biru
merupakan kurva yang menunjukkan perubahan massa (dalam %) terhadap suhu (TG, Thermalgravimetri).
Garis merah pada kurva menunjukkan perubahan massa terhadap waktu (DTG, Differential Thermal Gravimetri).
Garis hijau menunjukkan perubahan suhu terhadap suhu (DTA, Differential Thermal Analysis).
Titik dekomposisi diketahui dari kurva perubahan massa terhadap suhu (garis
biru), dimana Td (titik dekomposisi) merupakan suhu ketika % massa berharga
disekitar 50%. Td untuk masing-masing senyawa Pal-Imz I, St-Imz I, dan Ol-Imz I
berturut-turut adalah 368,6oC; 375,5oC; dan 361,6oC.
Sebagai
pembanding, cairan ionik berbasis garam imidazolium biasanya memiliki suhu dekomposisi
pada rentang 300–400oC, sedangkan asetonitril yang biasa digunakan sebagai
pelarut organik pada sel surya tersensitisasi zat warna terdekomposisi /
menguap pada suhu 81oC. Dengan demikian, ketiga senyawa ini tidak memiliki
kendala dalam hal kestabilan termal bila digunakan sebagai
elektrolit redoks pada sel surya
tersensitisasi zat warna.
Dalam
mengetahui kelayakan suatu material digunakan sebagai suatu elektrolit redoks
adalah mengetahui lebar jendela elektrokimia (electrochemical windows)
dari senyawa tersebut. Berbeda dengan pengukuran cairan ionik yang berwujud
cairan pada suhu kamar, pengukuran ketiga senyawa fatty imidazolinium yang
berwujud padatan pada suhu kamar dilakukan dalam bentuk
larutannya. Ketiga senyawa diuji
kelarutan terlebih dahulu menggunakan pelarut dengan kepolaran meningkat yaitu
kloroform, etanol, dan kemudian air. Semakin polar, ternyata ketiga senyawa menunjukkan
kecenderungan yang sama yaitu semakin tidak mudah larut. Alternatif berikutnya yaitu
menggunakan n-butanol karena sifatnya yang memiliki gugus polar (-OH) dan gugus
nonpolar
(-CH2CH2CH2CH3). Hasilnya ketiga
senyawa menunjukkan kelarutan yang cukup baik. Kelarutan cis oleil
imidazolinium iodida dalam n-butanol paling besar, sedangkan stearil memiliki
kelarutan paling kecil.
Ketiga
senyawa fatty
imidazolinium kemudian dilarutkan dalam n-butanol
dengan konsentrasi yang sama (0,2g/10mL). Setelah diuji menggunakan
Cyclic
Voltammeter dengan elektroda platina sebagai elektroda
kerja, kawat platina yaitu elektroda pembantu, elektroda kalomel Ag/AgCl
sebagai elektroda pembanding, dan batas pengukuran ditentukan di daerah }1
Volt, dan dibawah atmosfer Nitrogen (N2), ketiga senyawa menunjukkan lebar jendela
sebesar 2 Volt.
Semakin
lebar jendela mengindikasikan bahwa
semakin besar potensi senyawa
tersebut untuk digunakan sebagai elektrolit. Sebagai pembanding, 1-metil-3-etilimidazolium
heksaflorophosfat memiliki lebar jendela elektrokimia sebesar 4 Volt, 9. Ketiga
senyawa fatty imidazolinium
memiliki lebar jendela elektrokimia yang lebih kecil. Hal
ini disebabkan oleh anion yang digunakan yaitu ion iodida. Ion halida seperti
Cl-, Br-, dan I- lebih mudah teroksidasi dibandingkan anion yang mengandung fluor
10. Selain itu, pengukuran dalam kondisi larutan dimana pelarut yang digunakan
adalah n-butanol dapat mempengaruhi lebar jendela elektrokimia dari senyawa fatty imidazolinium.
Dalam kasus
cairan ionik, kestabilan elektrokimia terutama tergantung dari ketahanan kation
tereduksi dan anion teroksidasi. Semakin mudah suatu senyawa mengalami reaksi
redoks, maka semakin kecil lebar jendela elektrokimia. Kehadiran n-butanol yang
mudah teroksidasi dimungkinkan menjadi penyebab kecilnya jendela elektrokimia.
Menurut Maass, kemurnian dari senyawa yang diukur dapat menentukan batas potensial
atau nilai electrochemical
window.
Analisis
Daya Hantar Ionik dengan EIS
Salah satu
sifat fisikokimia yang terpenting dalam suatu senyawa jika akan digunakan
sebagai elektrolit redoks adalah konduktivitas ionik. Konduktivitas ionik
berhubungan dengan kemampuan daya hantar ion dari suatu senyawa. Elektrolit
redoks dalam DSSC merupakan suatu media penghubung antara kedua elektroda,
semakin baik suatu elektrolit menghantarkan elektron semakin besar efisiensi yang
akan dihasilkan. Pada penelitian ini, digunakan Electrochemical Impedance
Spectroscopy (EIS)
di Laboratorium Korosi ITB untuk mengetahui konduktivitas ionik dari ketiga senyawa
fatty imidazolinium.
Data diperoleh dari
EIS berupa tahanan atau hambatan dari
material yang diujikan. Semakin besar tahanan (R1) maka semakin kecil
konduktivitas dan semakin kecil tahanan maka semakin besar konduktivitas. Table
8 merupakan hasil pengujian konduktivitas dari ketiga senyawa fatty imidazolinium pada
suhu ruangan 298 K.
Tabel
8. Nilai tahanan dari ketiga senyawa
Sebagai
pembanding, Tabel 9 berikut merupakan data tahanan dari senyawa cairan ionik
yang menggunakan instrument yang sama.
Tabel
9. Nilai tahanan dari cairam ionik 2
Dari ketiga
senyawa fatty imidazolinium iodida, senyawa cis oleil imidazolinium
iodida memiliki nilai tahanan yang paling kecil, sedangkan stearil imidazolinium
iodida memiliki nilai tahanan yang paling besar. Dengan kata lain, senyawa cis
oleil imidazolinium iodida memiliki konduktivitas ionic yang paling tinggi,
kemudian palmitil imidazolinium iodida, dan stearil imidazolinium iodida. Jika
dihubungkan dengan wujud/fisik dari masing-masing senyawa, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa semakin padat maka semakin besar tahanannya. Dalam hal ini, cis oleil imidazolinium
iodida memiliki wujud paling lembek mirip, kemudian palmitil agak sedikit
padat, dan stearil yang sedikit lebih padat dibanding palmitil. Penampakan
wujud ini dapat dihubungkan dengan jarak antarmolekul dan kekuatan interaksi antarmolekul,
semakin padat artinya semakin kecil jarak antarmolekulnya yang disebabkan
interaksi antarmolekulnya yang kuat. Hal ini dapat dianalogikan dengan
peningkatan viskositas yang menyebabkan peningkatan nilai tahanan dari suatu senyawa,
sesuai dengan aturan Walden’s yaitu :
Λη = konstan atau Λ ≈ 1/η
Dimana Λ
menunjukkan konduktivitas molar dan
η menunjukkan
viskositas.
Pengaruh Sifat Transport Terhadap
Daya
Hantar Ionik
Nilai
konduktivitas bergantung pada jumlah dan mobilitas dari pembawa muatan, dengan
kata lain kation dan anion sebagai pembawa muatan 10. Senyawa yang memiliki
sifat transport yang tinggi akan mempunyai garis ke arah atas pada ujung kurva EIS.
Ketiga
senyawa menunjukkan garis ke atas pada setiap ujung kurva EIS, dengan kata lain
ketiga senyawa memiliki sifat transport yang tinggi. Sifat transport
berhubungan dengan pergerakan atau mobilisasi dari pembawa muatan yaitu
kation-anion. Semakin mobil kation-anion maka sifat transport akan tinggi, dan
berdampak pada peningkatan efisiensi dalam menghantarkan muatan. Interaksi kation
- anion sangat berpengaruh terhadap pergerakan kation-anion itu sendiri.
Stearil
imidazolinium iodida memiliki interaksi yang kuat sehingga pergerakan
kation-anionnya akan sangat lemah. Hal ini terlihat dari harga Zi pada
stearil imidazolinium iodida
berhenti pada angka yang sangat besar yaitu 7,8 kohm.cm2. Berbeda halnya dengan
cis oleil imidazolinium iodida yang memiliki interaksi yang lemah sehingga
pergerakan kation-anionnya akan lebih tinggi dibandingkan stearil dan palmitil.
Sehingga jika diurutkan sifat transport cis oleil imidazolinium iodida lebih
besar dibanding palmitil imidazolinium iodida, namun
palmitil lebih besar dibanding
stearil imidazolinium iodida.
KESIMPULAN
Kristal cair
ionik berbasis garam fatty
imidazolinium yaitu cis oleil imidazolinium iodide dapat
disintesis dari asam lemak (asam cis oleat) dan dietilentriamin
(DETA) menggunakan metode Green (reaksi kering) melalui iradiasi
gelombang mikro dan metilasi-kuartenerisasi
menggunakan metil iodida.
Berdasarkan hasil uji sifat
fisikokimia, senyawa Ol- Imz I memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan
sebagai elektrolit redoks pada sel surya tersensitisasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell,
DSSC).
Ucapan
Terima Kasih
Penulis
ucapkan terima kasih kepada DIKTI (Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi) yang
telah bersedia mendanai penelitian ini melalui hibah Program Kreatifitas
Mahasiswa Penelitian (PKMP) dengan sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Yuliarto, B., (2006), Teknologi Sel Surya untuk Energi Masa
Depan, Majalah IptekISTECS,
6-8.
Ripna, Habib Rd. 2007. “Sintesis dan
Karakterisasi Cairan Ionik Berbasis Garam
Benzotriazolium sebagai Elektrolit
Redoks pada Sel Surya Tersensitisasi Zat Warna”. Program Studi Kimia, Jurusan
Pendidikan Kimia, FPMIPA UPI.
O’Regan, B. dan Gratzel, M., “a
Lost-Cost, High- Eficiency Solar Cell Based on Dye- Sensitized Colloidal TiO2
Film”, Nature,
1991,
353, 737.
Kang, M.G., Ryu, K.S., Chang, S.H.,
dan Park, N.G., (2004), “A New Ionic Liquid for a Redox Electrolyte of
Dye-Sensitized Solar Cells”, ETRI Journal, 26, 6, 647-651.
Yamanaka, N., Kawano, R., Kubo, W.,
Kitamura, T., Wada, Y., Watanabe, M., dan Yanagida, S., “Ionic Liquid Crystals
as a Hole Transport Layer of Dye-Sensitized Solar Cells”, Chem. Commun.,
2005,
740.
Bajpai, D. dan Tyagi, V. K., Microwave Synthesis of Cationic Fatty
Imidazolines and their Characterization. AOCS. 2008
Mudzakir, A., Zur Chemie des carbenanalogen 1,3- Dimethyl-1,2,3-benzotriazoliumiodid, Verlag
Goettingen, Germany, 2004.
Lee, K-M., Lee, Y-T., dan Lin, I. J.
B., “Supramolecular Liquid Crystals”, J.
Mater.
Chem. 2003,
13, 1079
Yoo, J., Kim K., Kim J., dan Yeu T.,
“The Preparation of Nonaqueous Electrolytes Based on Quaternary Imidazolium Salts
for EDLC”. Department of Chemical Engineering, Chungang University, Huksukdong
Dongjakgu Seoul 156-756, Republic of Korea. Arie Hardian, Ahmad Mudzakir, Omay Sumarna J. Si.
Tek.Kim. 16 Trulove, P.C. dan Mantz, R.A., 2003, “Electrochemical
Properties of Ionic Liquid” dalam “Ionic Liquid in Synthesis”, P. Wassercheid
dan T. Welton (Eds.), Wiley Verlag, Frankfurt.
.